
Uni Eropa dengan tegas memilih jalur diplomasi dalam menyikapi ketegangan perdagangan dengan Amerika Serikat. Dalam kondisi geopolitik yang bergejolak, blok tersebut memprioritaskan keamanan di perbatasan timur daripada berseteru mengenai tarif dengan AS, terutama saat bayang-bayang perang tetap menghantui kawasan.
Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden Dewan UE Antonio Costa pada Forum Strategis Bled 2025 di Slovenia. Costa menegaskan bahwa pendekatan diplomatis adalah strategi utama dalam mengelola hubungan dengan Amerika Serikat saat ini. Menurut Costa, perhatian utama adalah memastikan keamanan perbatasan timur Eropa yang terancam oleh perang, daripada memperuncing sengketa dagang.
“Perdagangan adalah salah satu dimensi hubungan kami dengan Amerika Serikat. Keamanan—terutama selama perang di depan mata kami—merupakan masalah eksistensial,”
kata Costa saat berbicara di Forum Strategis Bled 2025 sebagaimana dikutip dari Kantor Berita Antara.
Hanya beberapa hari setelah UE dan AS berhasil mencapai kesepakatan dagang pada akhir Agustus, pernyataan Costa muncul. Kesepakatan tersebut menurunkan tarif mobil Eropa dari 27,5 persen menjadi 15 persen mulai 1 Agustus, dan sebagai imbalannya, UE sepakat untuk menghapus tarif pada berbagai produk industri AS, seperti mesin, farmasi, dan bahan kimia tertentu.
Costa mengakui adanya ketidakpuasan di Eropa mengenai sikap UE yang terkesan pasif dalam merespons dinamika global. Namun, ia menekankan bahwa perdagangan, keamanan, dan diplomasi adalah elemen yang tidak bisa dipisahkan.
“Kami tentu saja tidak merayakan kembalinya tarif atau kerangka kerja perdagangan yang tidak seimbang. Namun, kami harus jujur tentang gambaran yang lebih luas,”
ujarnya.
Lebih lanjut, Costa menyoroti pentingnya menjaga stabilitas hubungan transatlantik dan partisipasi AS dalam keamanan Ukraina sebagai prioritas utama.
“Menstabilkan hubungan transatlantik dan memastikan keterlibatan AS dalam keamanan Ukraina telah menjadi prioritas utama,”
katanya.
Costa juga mengajak UE untuk meningkatkan kapasitas otonomi dan kemandirian. “Kita harus menjadi lebih otonom, lebih tangguh, lebih siap bertindak, dan lebih berdaulat. Kita tidak bisa lagi hanya bergantung pada sekutu kita ketika menghadapi ancaman. Kita harus mengambil tanggung jawab yang lebih besar atas nasib kita sendiri,” tegasnya.
—