
Pada Semester II-2025, sejumlah kelompok usaha gencar melakukan akuisisi dengan cara membeli sebagian besar atau seluruh kepemilikan saham perusahaan lain. Langkah ini ditempuh sebagai salah satu strategi bisnis untuk membangun gurita bisnis agar harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) makin moncer. Bahkan, saham-saham konglomerasi ini menjadi pendorong pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Ada berbagai strategi yang ditempuh melalui jalan akuisisi. Selain itu, diversifikasi portofolio dalam rangka memperluas usaha ke sektor baru agar tidak terlalu tergantung pada satu industri. Kebijakan akuisisi ditempuh dalam rangka ekspansi cepat perusahaan yang sudah mapan dari pada membangun dari nol.
Perusahaan juga mengintegrasikan secara vertikal maupun horizontal lini bisnis yang dimiliki. Misalnya, vertikal yaitu mengakuisisi pemasok atau distributor dan horizontal yaitu mengakuisisi pesaing. Tidak jarang langkah akuisisi ditempuh untuk menguasai pasar atau teknologi, memperkuat posisi pasar, mengakses teknologi yang belum dimiliki, menggabungkan sumber daya agar efisiensi operasional dapat ditingkatkan.
Contoh aksi akuisisi konglomerasi di Indonesia adalah Djarum Group, yang melalui Blibli mengakuisisi Ranch Market. Akuisisi ini bertujuan untuk memperkuat jaringan ritel dan e-commerce.
Emtek Group mengakuisisi saham Bukalapak dan perusahaan media lainnya, yang bertujuan mengintegrasikan media, teknologi, dan e-commerce.
Sinar Mas Group melalui Smartfren mengakuisisi perusahaan infrastruktur telekomunikasi untuk memperluas jaringan dan meningkatkan layanan 5G. MNC Group mengakuisisi media digital dan perusahaan fintech agar dapat mengintegrasi bisnis media dan keuangan.
Dikutip dari Bisnis.com, Analis Kiwoom Sekuritas Miftahul Khaer menjelaskan bahwa akuisisi yang dilakukan sejumlah konglomerasi tidak sekadar mengambil keuntungan dari valuasi saham yang sedang murah. Tetapi, juga menjadi bagian dari strategi memperluas ekosistem dalam jangka panjang.
“Salah satunya seperti langkah akuisisi biasanya menambah lini bisnis atau memperkuat kapasitas operasional seperti yang dilakukan Grup Barito, Grup Salim, atau Astra,” ujar Mifta.
Grup Barito milik Prajogo Pangestu (PT Barito Pacific Tbk/BRPT) Shell Energy & Chemicals Park (Singapura) melalui PT Chandra Asri Pacific (TPIA) dan Glencore, menyelesaikan akuisisi aset petrokimia dan kilang besar di Bukom & Jurong Island, Singapura. Aset ini meliputi kilang minyak berkapasitas 237.000 barel per hari dan pabrik steam cracker 1 juta ton/tahun.
Anak usaha Barito Renewables Energy (BREN) mengakuisisi beberapa PLTB (pembangkit listrik tenaga angin) seperti Sidrap 1 & 2, Sukabumi, dan Lombok Timur – dengan dukungan pembiayaan BNI sebesar Rp 1,78 triliun.
Grup Salim (Anthoni Salim – Metro Pacific Tollways & lainnya) 35 % saham Jalan Tol Trans‑Jawa (JTT). Konsorsium Salim + GIC menyelesaikan akuisisi 35 % kepemilikan JTT (dari Jasa Marga) dengan nilai Rp 15,75 triliun pada Desember 2024.
Konglomerat tambang, yaitu Rex Minerals (Australia) MACH Metals Australia (anak usaha Salim) mengakuisisi Rex Minerals senilai AUS$ 393 juta atau sekitar Rp 4,3 triliun) pada Juli 2024.
Bersama Agung Sedayu, Grup Salim mengakuisisi Gedung Nusantara International Convention Exhibition (NICE) di PIK 2. Namun nilai transaksi belum dipublikasi. Di sisi lain, ada kabar negosiasi untuk mengakuisisi sebagian besar saham CMNP dari Jusuf Hamka, sejak Januari 2025
Grup Astra (PT Astra International Tbk/ASII), OLX Indonesia (Tokobagus)
Astra Digital Mobil (ADMO) dan Astra Digital International (ADI) mengakuisisi 99,98 % saham OLX Indonesia sejak Juli 2023, dengan ADMO membeli 99,98 % dan ADI sisanya 0,02 %.
Pada Mei 2025, Toyota Motor Asia mengambil alih 40 % saham ADMO seharga Rp 2 triliun, memperkuat kolaborasi otomotif-bekas mobil di Indonesia.
Heartology Cardiovascular Hospital melalui Astra Sehat Nusantara, mengakuisisi rumah sakit jantung di Jakarta senilai Rp 643–645 miliar pada Oktober 2024. Ini memperluas portofolio Astra di sektor kesehatan bersama Halodoc dan Hermina.
Selain itu, lanjut Mifta, banyak konglomerasi masuk ke sektor digital dan energi hijau, yang merupakan kategori yang sedang menjadi prioritas pemerintah
Kiwoom Sekuritas memperkirakan dampak dari akuisisi ini cukup signifikan karena nilai tambah dapat tercipta apabila implementasi berjalan dengan baik. Hal itu tercermin melalui integrasi operasional, efisiensi biaya, dan peningkatan skala usaha.
Namun, kata Mifta, risiko utama dari akuisisi ini juga tidak kecil, terutama dalam situasi makro yang belum sangat stabil.
“Hal ini seperti risiko ketidakpastian ekonomi global, potensi likuiditas yang menyusut, dan risiko disrupsi akibat over-ekspansi di saat suku bunga dan inflasi mungkin masih tinggi,” tutur Mifta.
Disebutkan, prospek di Semester II-2025, saham-saham konglomerasi umumnya masih tetap menarik. Khususnya saham-saham konglomerasi dengan valuasi yang relatif murah dan dengan eksposur yang luas.
Akuisisi, dapat dikatakan menjadi pembuka jalan bagi investor untuk mengoleksii saham-saham konglomerasi. Misalnya, daya tarik saham PT Astra International Tbk (ASII) yang berasal dari kekuatan fundamentalnya, diversifikasi usaha yang luas, dan reputasinya sebagai salah satu perusahaan konglomerasi terbesar di Indonesia.
Saham Salim Grup menjadi incaran investor karena memiliki jaringan perusahaan terbuka yang tersebar di berbagai sektor. Contohnya, Indofood Sukses Makmur (INDF), Indofood CBP (ICBP), Indoritel Makmur (DNET, dan Indoritel Makmur Internasional (DNET).